Arus Balik Peradaban: Menggugat Amnesia Kolektif Kita terhadap Sungai
By : Fiqhan Khoirul ‘Alim
Kondisi sedimentasi di kali akir desa Sitirejo Kec. Wagir Kab. MalangJika peradaban-peradaban besar dunia lahir dari rahim sungai, peradaban macam apa yang sedang kita bangun di atas comberan raksasa? Pertanyaan ini mungkin terdengar provokatif, namun ini adalah refleksi jujur saat kita memandang sebagian besar sungai di Indonesia hari ini. Kita menyaksikan sebuah paradoks yang menyakitkan: aliran air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, inspirasi budaya, dan jalur kemakmuran, kini tak lebih dari sekadar saluran pembuangan sampah dan limbah. Telah terjadi sebuah pergeseran sosiologis yang fundamental dalam cara pandang kita. Sungai, yang dulunya adalah "halaman depan" tempat kehidupan komunal bersemi, kini telah terdegradasi menjadi "halaman belakang" yang kotor, tersembunyi, dan sengaja dilupakan (Puspitasari, 2009). Perilaku membuang sampah ke sungai telah menjadi kebiasaan yang dianggap praktis dan gratis, sebuah cerminan dari amnesia kolektif terhadap peran vital sungai dalam sejarah dan identitas bangsa kita (Puspitasari, 2009; Badan Pusat Statistik, 2023).
Ini bukan sekadar isu lingkungan; ini adalah krisis peradaban. Degradasi sungai adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: putusnya hubungan kita dengan alam dan sejarah. Oleh karena itu, untuk mencapai keberlanjutan sejati, generasi muda Indonesia harus memelopori sebuah paradigma baru kepemimpinan. Bukan sekadar Green Leadership yang terperangkap dalam jargon dan program seremonial, melainkan kepemimpinan yang menginisiasi sebuah "arus balik peradaban". Sebuah gerakan untuk merebut kembali peran sentral sungai dalam kesadaran kolektif kita, yang didasari oleh pemahaman sejarah yang mendalam, data yang akurat, dan inovasi yang berani. Esai ini akan membuktikan bahwa jalan menuju masa depan yang berkelanjutan tidak terletak pada program-program baru yang megah, tetapi pada keberanian kita untuk memutar balik arus, menengok ke belakang untuk melompat jauh ke depan.
Urat Nadi yang Terlupakan: Membaca Ulang Sejarah Bangsa dari Aliran Air
Amnesia kita terhadap sungai menjadi semakin ironis ketika kita menyadari bahwa aliran-aliran air inilah yang sejatinya menulis bab-bab awal dari sejarah kebesaran Nusantara. Jauh sebelum aspal dan beton mendominasi lanskap, sungailah yang menjadi infrastruktur utama, urat nadi ekonomi, dan panggung kebudayaan bangsa.
Sejarah peradaban manusia secara universal adalah sejarah peradaban sungai (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2011; Ari, 2024a). Peradaban Mesir Kuno tidak akan pernah mencapai puncaknya tanpa anugerah Sungai Nil yang menyuburkan lembahnya setiap tahun (Ari, 2024a). Mesopotamia, yang dikenal sebagai "Tempat Lahirnya Peradaban", tumbuh subur di antara dua sungai kembar, Tigris dan Eufrat (Ari, 2024a; Detik.com, 2022). Di Asia Selatan, kota-kota terencana seperti Mohenjo-Daro dan Harappa berkembang pesat di sepanjang aliran Sungai Indus (Narny, 2024; Kelas Pintar, 2020). Sungai menyediakan air minum, irigasi untuk pertanian, jalur transportasi yang efisien, dan sumber pangan—fondasi esensial bagi lahirnya masyarakat yang kompleks dan terorganisir (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2011). Leluhur kita di Nusantara adalah bagian tak terpisahkan dari narasi agung ini; mereka memahami betul cetak biru peradaban yang digariskan oleh aliran air.
Di Palembang, Sungai Musi bukan sekadar bentang alam, melainkan aset geopolitik strategis yang menopang kejayaan Imperium Sriwijaya selama berabad-abad. Bagi Sriwijaya, sebuah kerajaan maritim, Musi adalah gerbang utama yang menghubungkan pedalaman Sumatra dengan panggung perdagangan global di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (Susilo et al., 2024). Sungai ini berfungsi sebagai jalan tol super bagi para pedagang dari berbagai penjuru dunia, menjadikan Sriwijaya sebagai pusat ekonomi yang kaya dan berpengaruh (Susilo et al., 2024).
Lebih dari itu, Musi adalah jantung kehidupan sosial dan budaya. Kebutuhan sehari-hari masyarakat, mulai dari mandi hingga mencuci, bergantung sepenuhnya pada sungai ini (Good News From Indonesia, 2025). Arsitektur khas rumah panggung dirancang untuk beradaptasi dengan dinamika sungai. Bahkan, kekayaan kuliner Palembang, seperti pempek, berutang budi pada ikan belida yang habitat aslinya adalah Sungai Musi (Good News From Indonesia, 2025). Dari zaman Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang Darussalam, Musi secara konsisten menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, dan budaya, membuktikan bahwa peradaban besar di wilayah ini lahir, hidup, dan bernapas bersama sungainya (Susilo et al., 2024).
Beralih ke Jawa, Kerajaan Majapahit menunjukkan model peradaban sungai yang berbeda namun sama bergantungnya pada aliran air. Jika Sriwijaya adalah penguasa maritim, Majapahit adalah raksasa agraris-maritim yang kekuatan ekonominya ditopang oleh kesuburan tanah vulkanik di pedalaman Jawa. Di sinilah peran Sungai Brantas dan Bengawan Solo menjadi krusial. Keduanya berfungsi sebagai tulang punggung logistik yang mengangkut hasil bumi melimpah, seperti beras dan produk tekstil, dari pusat-pusat produksi di pedalaman menuju pelabuhan-pelabuhan internasional di pesisir utara seperti Hujung Galuh (Nugroho, 2025; Universitas Diponegoro, n.d.).
Pentingnya sungai bagi negara bahkan terukir dalam kebijakan resmi. Prasasti Trowulan I (1358 M), yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, secara spesifik menyebutkan keberadaan desa-desa penyeberangan di tepi sungai (nadi tira pradesa) (Universitas Diponegoro, n.d.). Desa-desa ini dianggap begitu vital bagi kelancaran arus perniagaan dan mobilitas negara sehingga mereka diberikan hak istimewa berupa pembebasan dari kewajiban membayar pajak (Universitas Diponegoro, n.d.). Ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa sungai pada masa itu bukanlah ruang liar tak bertuan, melainkan aset strategis yang dikelola secara sadar oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Sungai-sungai ini juga menjadi etalase kosmopolitanisme Majapahit, tempat para saudagar dari Tiongkok, India, dan Kamboja berinteraksi dan bertukar barang dagangan, yang dibuktikan dengan temuan-temuan keramik asing di sepanjang alirannya (Nugroho, 2025).
Tragedi sesungguhnya bukanlah sekadar pencemaran, melainkan pembalikan total fungsi ekonomi sungai. Dahulu, sungai adalah mesin pencipta kekayaan, jalur perdagangan yang menghasilkan surplus, dan sumber kemakmuran. Kini, sungai yang sama telah berubah menjadi sumber kerugian ekonomi yang masif. Aliran air yang dulu mengangkut rempah dan sutra, kini justru mengangkut penyakit dan biaya. Studi kasus di Rancaekek, misalnya, menunjukkan bagaimana pencemaran sungai oleh limbah industri menimbulkan kerugian ekonomi hingga belasan triliun rupiah akibat hancurnya lahan pertanian dan perikanan (Wartapala Indonesia, n.d.; Greenpeace Indonesia, 2019). Penurunan pendapatan dari sektor pariwisata dan membengkaknya biaya kesehatan publik akibat penyakit yang ditularkan melalui air adalah bukti lain dari inversi tragis ini (PDAM Pintar, n.d.; Indonesian Center for Environmental Law, n.d.). Dengan merusak sungai, kita tidak hanya mengkhianati warisan leluhur, tetapi juga secara aktif menyabotase fondasi ekonomi bangsa kita sendiri.
Dari masa lalu yang gemilang, kita terlempar ke masa kini yang suram. Romantisme sejarah sirna seketika di hadapan data-data yang berbicara gamblang tentang kondisi kritis sungai-sungai kita. Ini adalah sebuah darurat ekologis nasional yang menuntut diagnosis jujur dan mendalam.
Data resmi dari lembaga pemerintah melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan. Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 menyatakan bahwa 59% sungai di Indonesia berada dalam kondisi tercemar berat (Tempo.co, 2021). Data yang lebih baru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 semakin memperkuat diagnosis ini, menunjukkan bahwa 73% sungai masuk kategori cemar ringan dan hanya sebagian kecil, sekitar 6.3%, yang memenuhi baku mutu (Badan Pusat Statistik, 2023). Artinya, mayoritas absolut dari puluhan ribu sungai yang mengaliri negeri ini berada dalam kondisi sakit, bahkan kritis. Ini bukanlah masalah lokal di satu atau dua kota besar, melainkan sebuah pandemi ekologis yang menjangkiti seluruh tubuh bangsa.
Menuding industri sebagai satu-satunya penjahat adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya. Meskipun limbah industri dengan kandungan logam berat dan bahan kimia beracunnya memang memberikan dampak destruktif (Environment Indonesia, n.d.), data menunjukkan bahwa sumber pencemaran terbesar justru datang dari aktivitas kita sehari-hari. Limbah domestik atau rumah tangga secara konsisten diidentifikasi sebagai kontributor polusi terbesar di sungai-sungai Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2023; Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng, n.d.).
Limbah ini mencakup spektrum yang luas: mulai dari air cucian yang kaya akan fosfat dari deterjen, sisa makanan yang meningkatkan kebutuhan oksigen biokimia (BOD) dalam air, sampah plastik yang tidak terurai, hingga tinja manusia yang membawa bakteri patogen seperti E. coli (Environment Indonesia, n.d.). Di samping itu, sektor pertanian juga menyumbang polusi signifikan melalui residu pestisida dan pupuk kimia yang terbawa aliran air hujan ke sungai (Environment Indonesia, n.d.). Dengan demikian, tanggung jawab atas krisis ini tidak hanya berada di pundak korporasi besar, tetapi tersebar di antara jutaan rumah tangga dan lahan pertanian di seluruh negeri.
Dominasi limbah domestik sebagai polutan utama bukanlah sekadar cerminan dari kurangnya disiplin individu. Ini adalah gejala dari dua kegagalan yang saling terkait. Pertama, kegagalan budaya dalam cara kita memandang ruang publik. Mentalitas "halaman belakang" telah menempatkan sungai sebagai tempat pembuangan yang wajar dan tanpa biaya, sebuah ruang komunal yang tidak dimiliki siapa pun sehingga boleh dirusak oleh siapa saja (Puspitasari, 2009). Kedua, ini adalah cerminan dari kegagalan sistemik infrastruktur. Di banyak wilayah, terutama di pemukiman padat, tidak tersedia sistem pengelolaan sampah dan sanitasi yang memadai. Perilaku membuang sampah ke sungai, oleh karena itu, bukan murni pilihan, melainkan juga hasil dari ketiadaan alternatif yang layak. Kepemimpinan hijau di masa depan harus mampu mengatasi kedua akar masalah ini secara simultan: merekonstruksi narasi budaya tentang sungai sambil terus menuntut dan mengawal pembangunan infrastruktur publik yang berkeadilan dan ramah lingkungan.
Harga yang Kita Bayar: Krisis Ekologis, Ekonomis, dan Kesehatan Publik
Mengabaikan kondisi sungai bukan lagi sebuah pilihan. Dampaknya telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita, menimbulkan kerugian nyata yang dapat diukur dalam rupiah, angka kesakitan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ini adalah harga mahal yang harus kita bayar atas amnesia kolektif kita.
Polusi sungai secara langsung menggerogoti perekonomian nasional dan lokal. Studi kasus paling dramatis adalah pencemaran di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Puluhan tahun pembuangan limbah industri tekstil ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikijing telah menghancurkan ekosistem lokal dan mengakibatkan total kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai angka fantastis Rp 11,4 triliun (Wartapala Indonesia, n.d.; Greenpeace Indonesia, 2019). Angka ini mencakup berbagai sektor, mulai dari kerugian di sektor pertanian akibat sawah yang tidak lagi produktif, musnahnya perikanan darat, hingga biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat (Greenpeace Indonesia, 2019).
Di skala yang lebih luas, dampak serupa terjadi di seluruh Indonesia. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa sekitar 30% lahan pertanian di Jawa mengalami penurunan produktivitas akibat penggunaan air sungai yang tercemar untuk irigasi (PDAM Pintar, n.d.). Sektor pariwisata juga terpukul; beberapa daerah melaporkan penurunan kunjungan wisatawan hingga 25% karena kondisi sungai yang kotor dan tidak menarik (PDAM Pintar, n.d.). Sungai yang seharusnya menjadi aset ekonomi, kini justru menjadi liabilitas yang terus menguras sumber daya.
Air yang tercemar adalah medium penularan penyakit yang sangat efektif. Bagi jutaan masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, ini adalah ancaman langsung terhadap kesehatan mereka. Berbagai penelitian secara konsisten menemukan hubungan kuat antara pemanfaatan air sungai yang tercemar dengan tingginya insiden penyakit kulit seperti dermatitis dan gatal-gatal, serta penyakit pencernaan seperti diare (Alprida et al., 2018).
Ancaman yang lebih mengerikan seringkali tidak kasat mata. Analisis kualitas air di Sungai Citarum, misalnya, menemukan kandungan timbal yang 1.000 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) (United Nations Development Programme, 2024). Selain itu, kadar bakteri E. coli di beberapa titik mencapai 50.000/100 ml, jauh di atas standar air bersih (Yustitia, 2018). Secara global, diperkirakan 1,8 juta kematian dini setiap tahunnya disebabkan oleh faktor risiko yang terkait dengan air yang tidak aman dan sanitasi yang buruk (Indonesian Center for Environmental Law, n.d.). Data ini mengubah citra sungai dari sumber kehidupan menjadi sumber penyakit dan kematian.
Keruntuhan Ekologis yang Senyap
Di bawah permukaan air yang keruh, sebuah kepunahan massal tengah berlangsung dalam senyap. Masuknya limbah organik dari rumah tangga dan nutrien dari pupuk pertanian memicu fenomena eutrofikasi. Ini adalah ledakan pertumbuhan alga dan eceng gondok yang menyelimuti permukaan air, menghalangi sinar matahari, dan menyedot habis oksigen terlarut yang vital bagi kehidupan akuatik (PDAM Pintar, n.d.; Halodoc, n.d.). Akibatnya, ikan-ikan mati massal dan seluruh rantai makanan di ekosistem perairan menjadi terganggu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan melaporkan bahwa polusi sungai telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies ikan air tawar asli Indonesia (PDAM Pintar, n.d.). Dampaknya tidak berhenti di air; hewan darat yang bergantung pada ekosistem sungai, seperti Harimau Sumatra, juga ikut terancam akibat habitatnya yang tercemar (PDAM Pintar, n.d.).
Untuk mengkonkretkan tragedi ini, kita dapat melihat bagaimana sebuah sungai yang dulu menjadi pilar peradaban kini menjadi simbol degradasi.
Aspek Peran Historis Sungai Brantas di Era Majapahit Kondisi Kontemporer Sungai Brantas Sumber Data
Ekonomi Urat nadi perdagangan, jalur distribusi utama komoditas (tekstil, beras), pusat kemakmuran. Sumber kerugian ekonomi akibat polusi, penurunan produktivitas pertanian di DAS hingga 30%. (Nugroho, 2025; Universitas Diponegoro, n.d.; PDAM Pintar, n.d.)
Transportasi Jalur transportasi utama yang menghubungkan pedalaman dengan pelabuhan internasional. Terhambat oleh sedimentasi dan sampah, tidak lagi menjadi jalur transportasi komersial utama. (Puspitasari, 2009; Nugroho, 2025)
Sumber Daya Air Sumber air untuk irigasi canggih, kehidupan, dan simbol kemajuan teknologi air. Tercemar oleh limbah domestik dan industri, tidak layak konsumsi, menjadi sumber penyakit. (Nugroho, 2025; Alprida et al., 2018)
Sosial & Budaya Pusat peradaban, saksi bisu peristiwa sejarah, sumber kehidupan komunal. Dianggap sebagai tempat pembuangan sampah, sumber banjir, dan ancaman kesehatan publik. (Puspitasari, 2009; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2011)
Tabel di atas adalah potret mikro dari sebuah tragedi nasional: sebuah inversi total dari fungsi dan makna. Sungai Brantas, yang dulu menjadi tulang punggung Majapahit, kini justru menjadi cerminan dari kerapuhan kita dalam mengelola warisan alam dan sejarah.
Kepemimpinan Hijau Generasi Baru: Dari Aksi Viral ke Solusi Struktural
Di tengah potret buram kondisi sungai, secercah harapan justru muncul bukan dari koridor kekuasaan, melainkan dari inisiatif akar rumput yang digerakkan oleh anak-anak muda. Mereka menawarkan sebuah antitesis terhadap model penanganan lingkungan yang usang dan birokratis, sekaligus mendefinisikan ulang makna kepemimpinan hijau untuk era digital.
Sejarah penanganan polusi sungai di Indonesia adalah sejarah kegagalan program-program top-down yang berulang. Sungai Citarum menjadi studi kasus yang paling relevan. Sejak era Orde Baru dengan Program Kali Bersih (Prokasih), dilanjutkan dengan Citarum Bergetar dan Citarum Bestari, polanya selalu sama: diluncurkan dengan gegap gempita, namun berakhir tanpa hasil signifikan karena koordinasi antar-lembaga yang buruk, penegakan hukum yang lemah, dan kegagalan melibatkan masyarakat secara substantif (Ayobandung.id, 2025).
Program Citarum Harum yang diluncurkan melalui Perpres No. 15/2018 adalah upaya paling ambisius hingga saat ini, bahkan melibatkan aparat militer untuk pengawasan. Program ini memang mencatatkan beberapa keberhasilan, seperti perbaikan Indeks Kualitas Air (IKA) dari status "cemar berat" menjadi "cemar sedang" (Prayoga, 2021). Namun, program ini gagal mencapai target utamanya: menjadikan air Citarum layak minum dalam tujuh tahun. Kepatuhan industri masih rendah, partisipasi masyarakat seringkali hanya bersifat seremonial, dan masalah fundamental seperti pengelolaan lahan kritis di hulu belum tersentuh secara maksimal (Ayobandung.id, 2025; BandungBergerak.id, 2022). Kegagalan beruntun dari pendekatan hierarkis dan negara-sentris ini menciptakan sebuah vakum—sebuah kekosongan yang kemudian diisi oleh energi dan inovasi dari generasi baru.
Kemunculan gerakan-gerakan pemuda seperti Pandawara Group bukanlah sebuah kebetulan. Mereka adalah respons organik dan evolusioner terhadap frustrasi publik atas kelambanan dan ketidakefektifan model lama. Pandawara, sebuah kelompok yang terdiri dari lima orang sahabat asal Bandung, membalikkan logika penanganan lingkungan (Detik.com, 2023; Liputan6.com, 2024). Alih-alih menunggu instruksi atau anggaran pemerintah, mereka terjun langsung ke sungai-sungai paling kotor dan membersihkannya dengan tangan mereka sendiri (Detik.com, 2023).
Kekuatan mereka tidak terletak pada sumber daya finansial, melainkan pada penguasaan narasi digital. Melalui konten-konten otentik di media sosial seperti TikTok dan Instagram, mereka tidak hanya mendokumentasikan aksi mereka, tetapi juga berhasil mengemas isu lingkungan menjadi sesuatu yang relevan, mendesak, dan bahkan "keren" bagi jutaan anak muda lainnya (Liputan6.com, 2024; Detik.com, 2023). Hasilnya adalah mobilisasi massa yang luar biasa, di mana ribuan relawan dari berbagai latar belakang tergerak untuk ikut serta dalam aksi bersih-bersih massal (Liputan6.com, 2024). Fenomena ini, yang juga diusung oleh komunitas lain seperti Sungai Watch dan River Cleanup Indonesia, menunjukkan bahwa telah lahir sebuah model kepemimpinan baru: lincah, terdesentralisasi, berbasis kerelawanan, dan sangat mahir dalam memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menciptakan perubahan nyata (Kabar Priangan, 2023).
Mendefinisikan Kepemimpinan Hijau Generasi Muda: Strategi Tiga Cabang
Belajar dari kegagalan model lama dan keberhasilan model baru, kepemimpinan hijau yang harus diusung generasi muda bukanlah sekadar aktivisme sporadis, melainkan sebuah strategi perubahan sistemik yang bergerak di tiga ranah secara simultan:
1. Edukasi Radikal & Advokasi Kreatif: Generasi ini harus meninggalkan pendekatan sosialisasi yang kaku dan membosankan. Perubahan paradigma budaya mengubah citra sungai dari "halaman belakang" menjadi "halaman depan" membutuhkan sentuhan kreativitas. Pemimpin muda harus menjadi katalisator yang memanfaatkan kekuatan seni, film, animasi, dan desain grafis untuk mengkomunikasikan krisis sungai secara emosional dan menggugah. Kampanye yang cerdas secara visual dan relevan dengan budaya pop dapat mengubah persepsi publik jauh lebih efektif daripada spanduk dan seminar.
2. Kolaborasi Inovatif & Adopsi Teknologi: Pemimpin muda harus berperan sebagai penghubung dan inovator, meruntuhkan sekat-sekat sektoral yang selama ini menghambat kemajuan. Mereka harus proaktif membangun aliansi strategis antara komunitas lokal, startup teknologi, akademisi, dan perusahaan progresif untuk menciptakan solusi bersama, seringkali dengan melewati jalur birokrasi yang lamban. Pemanfaatan teknologi menjadi kunci: mulai dari penggunaan sensor Internet of Things (IoT) untuk pemantauan kualitas air secara real-time, penerapan teknik bioremediasi untuk mengurai polutan, hingga penggunaan drone dan LiDAR untuk memetakan sumber-sumber pencemaran dengan presisi tinggi (Ari, 2024b; Terra Drone, n.d.).
3. Keterlibatan Kebijakan Proaktif & Pengawasan Akuntabilitas: Aksi di lapangan harus diimbangi dengan pertarungan di ranah kebijakan. Gerakan pemuda tidak boleh anti-negara, sebaliknya, mereka harus menjadi mitra kritis pemerintah. Dengan bersenjatakan data-data valid mengenai dampak ekonomi dan kesehatan dari polusi sungai, mereka dapat membangun argumen yang tak terbantahkan untuk mendorong regulasi lingkungan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang tanpa kompromi. Lebih dari itu, mereka harus memposisikan diri sebagai "penjaga sistem", mengawasi implementasi program-program pemerintah, menuntut transparansi, dan memastikan akuntabilitas dari setiap rupiah anggaran yang digunakan untuk restorasi sungai.
Kesimpulan - Menjadikan Sungai Cermin Masa Depan Bangsa
Pada akhirnya, kondisi sungai-sungai kita adalah cermin yang memantulkan karakter, prioritas, dan visi peradaban kita. Sungai yang tercemar, keruh, dan penuh sampah adalah refleksi dari sebuah masyarakat yang mengalami amnesia sejarah, terputus dari akar budayanya, dan memiliki pandangan yang rabun terhadap masa depan. Sebaliknya, sungai yang jernih, hidup, dan terawat adalah cerminan dari sebuah bangsa yang menghargai masa lalunya, bertanggung jawab atas masa kininya, dan berinvestasi untuk masa depan generasi yang akan datang.
Kita, generasi muda Indonesia, kini berdiri di sebuah persimpangan sejarah. Kita memiliki pilihan: menjadi generasi yang pasif menyaksikan kematian perlahan dari urat nadi peradaban ini, atau menjadi generasi pelopor yang memimpin kebangkitannya. Pilihan ini akan mendefinisikan warisan kita. Mengikuti program Akademi Kepemimpinan Nasional ini bukanlah sekadar mencari ilmu, melainkan sebuah penegasan komitmen untuk menjadi bagian dari solusi.
Mengembalikan martabat sungai kita bukanlah sekadar program lingkungan; ini adalah proyek restorasi peradaban. Sebuah tugas besar yang menuntut lebih dari sekadar kebijakan, tetapi juga gerakan budaya, inovasi teknologi, dan yang terpenting, kepemimpinan yang berani dan visioner. Dan kami, generasi muda, siap memimpin di barisan terdepan.
Daftar Pustaka
Alprida, H., Nurmaini, & Dharma, S. (2018). Hubungan Jenis Sumber Air dengan Kejadian Penyakit Dermatitis. Jurnal Riset Kesehatan, 13(1), 120-126.
Ari, A. (2024a, August 19). Sejarah sungai sebagai sumber kehidupan dalam peradaban. UMA. Retrieved from https://ari.blog.uma.ac.id/2024/08/19/sejarah-sungai-sebagai-sumber-kehidupan-dalam-peradaban/
Ari, A. (2024b, August 26). Inovasi teknologi pengelolaan air sungai untuk mengatasi polusi. UMA. Retrieved from https://ari.blog.uma.ac.id/2024/08/26/inovasi-teknologi-pengelolaan-air-sungai-untuk-mengatasi-polusi/
Ayobandung.id. (2025, September 14). Sejarah kegagalan program pembersihan Sungai Citarum, dari Orde Baru sampai era Jokowi. Ayobandung.id. Retrieved from https://www.ayobandung.id/ayo-jelajah/01165326/14092025/sejarah-kegagalan-program-pembersihan-sungai-citarum-dari-orde-baru-sampai-era-jokowi
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik lingkungan hidup Indonesia 2022. BPS. Retrieved from https://unstats.un.org/unsd/envstats/Compendia/Indonesia_Statistik_Lingkungan_Hidup_2022.pdf
Badan Pusat Statistik. (2023). Data kualitas air sungai di Indonesia. As cited in Indonesia.go.id. Retrieved from https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8068/www.mongabay.co.id
BandungBergerak.id. (2022, May 24). Kembalikan Sungai Citarum ke tangan rakyat. BandungBergerak.id. Retrieved from https://bandungbergerak.id/article/detail/2592/kembalikan-sungai-citarum-ke-tangan-rakyat
Detik.com. (2022, November 22). 7 peradaban tertua di dunia dan peninggalannya. Detik.com. Retrieved from https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6418275/7-peradaban-tertua-di-dunia-dan-peninggalannya
Detik.com. (2023, January 3). Pandawara Group, lima sahabat menerjang sungai demi pungut sampah. Detik.com. Retrieved from https://www.detik.com/jabar/jabar-gaskeun/d-6496221/pandawara-group-lima-sahabat-menerjang-sungai-demi-pungut-sampah
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng. (n.d.). Pencemaran air dan dampaknya bagi lingkungan. DLH Buleleng. Retrieved from https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/91_pencemaran-air-dan-dampaknya-bagi-lingkungan
Edoo.id. (2024, July). Pandawara Group: Pahlawan muda penjaga kebersihan sungai dan pantai Indonesia. Edoo.id. Retrieved from https://edoo.id/2024/07/pandawara-group-pahlawan-muda-penjaga-kebersihan-sungai-dan-pantai-indonesia/
Environment Indonesia. (n.d.). Kenali jenis sumber limbah yang sering mencemari sungai. Environment Indonesia. Retrieved from https://environment-indonesia.com/kenali-jenis-sumber-limbah-yang-sering-mencemari-sungai/
Febrita, J., & Roosmini, D. (2022). Analisis beban pencemar logam berat industri terhadap kualitas Sungai Citarum Hulu. Jurnal Sumberdaya Lahan, 16(1), 77-87.
Good News From Indonesia. (2025, February 5). Manfaat Sungai Musi bagi Kota Palembang. Good News From Indonesia. Retrieved from https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/02/05/manfaat-sungai-musi-bagi-kota-palembang
Greenpeace Indonesia. (2019). Konsekuensi tersembunyi: Valuasi kerugian ekonomi akibat pencemaran industri. Greenpeace. Retrieved from https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/1312/konsekuensi-tersembunyi-valuasi-kerugian-ekonomi-akibat-pencemaran-industri/
Halodoc. (n.d.). Air kotor, hidup sengsara: Dampak pencemaran air. Halodoc. Retrieved from https://www.halodoc.com/artikel/air-kotor-hidup-sengsara-dampak-pencemaran-air
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). (n.d.). Kontak. ICEL. Retrieved from https://icel.or.id/kontak
Kabar Priangan. (2023, June 5). Ini 3 komunitas bersih-bersih sungai yang kegiatannya viral di medsos. Kabar Priangan. Retrieved from https://kabarpriangan.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-1486742216/ini-3-komunitas-bersih-bersih-sungai-yang-kegiatannya-viral-di-medsos?page=all
Kelas Pintar. (2020, September 3). Mengintip peradaban kuno di Asia. Kelas Pintar. Retrieved from https://www.kelaspintar.id/blog/edutech/mengintip-peradaban-kuno-di-asia-6880
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2011). Sungai sebagai pusat peradaban. Repositori Kemdikbud. Retrieved from https://repositori.kemdikbud.go.id/12746/1/Sungai%20sebagai%20pusat%20peradaban.pdf
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2021). Statistik PPKL 2020. KLHK. Retrieved from https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/1033/210930123917BUKU%20STATISTIK%20PPKL%202020%20(versi%20CETAK).pdf
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2024). Laporan Kinerja 2024. KLHK. Retrieved from https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/1017/250224112700LKj%20Ditjen%20PPKL%202024_FINAL.pdf
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. (2024). Capaian keberhasilan program Citarum Harum, Kemenko Marves luncurkan buku. Kemenko Marves. Retrieved from https://maritim.go.id/detail/capaian-keberhasilan-program-citarum-harum-kemenko-marves-luncurkan-buku
Liputan6.com. (2024, November 29). Pandawara adalah kelompok pemuda inspiratif yang menggerakkan perubahan lingkungan. Liputan6.com. Retrieved from https://www.liputan6.com/feeds/read/5783998/pandawara-adalah-kelompok-pemuda-inspiratif-yang-menggerakkan-perubahan-lingkungan
Narny, Y. (2024, March 20). Perjalanan peradaban manusia di Lembah Sungai Indus, Mesopotamia, dan Mesir Kuno. SumbarSatu. Retrieved from https://sumbarsatu.com/berita/30978-perjalanan-peradaban-manusia-di-lembah-sungai-indus-mesopotamia-dan-mesir-kuno
Nugroho, Y. A. (2025, August 2). Punya peran penting, Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo jadi jalur perdagangan era Majapahit. Radar Majapahit. Retrieved from https://radarmajapahit.jawapos.com/maja-sains/2296382298/punya-peran-penting-sungai-brantas-dan-sungai-bengawan-solojadi-jalur-perdagangan-era-majapahit
PDAM Pintar. (n.d.). Dampak pencemaran air sungai. PDAM Pintar. Retrieved from https://pdampintar.id/blog/lainnya/dampak-pencemaran-air-sungai/
Prayoga, A. (2021). Analisis Collaborative Governance dalam Program Citarum Harum. UIN Sunan Gunung Djati. Retrieved from https://digilib.uinsgd.ac.id/54174/1/Article%20Agung%20Prayoga%20-%201188010006.pdf
Puspitasari, D. E. (2009). Dampak pencemaran air terhadap kesehatan lingkungan dalam perspektif hukum lingkungan. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 21(1), 23-34.
Susilo, A., et al. (2024). Peranan Sungai Musi dalam perdagangan masa Sriwijaya abad ke VII-IX. Bandar Maulana Jurnal Sejarah Kebudayaan, 28(1), 35-43.
Tempo.co. (2021, July 28). KLHK ungkap penyebab 59 persen sungai di Indonesia tercemar berat. Tempo.co. Retrieved from https://www.tempo.co/ekonomi/klhk-ungkap-penyebab-59-persen-sungai-di-indonesia-tercemar-berat-490011
Terra Drone. (n.d.). Teknologi drone LiDAR untuk pemetaan sungai: Solusi inovatif untuk perencanaan wilayah. Terra Drone. Retrieved from https://terra-drone.co.id/teknologi-drone-lidar-untuk-pemetaan-sungai-solusi-inovatif-untuk-perencanaan-wilayah/
United Nations Development Programme (UNDP). (2024). Air bersih dan agenda bisnis dan hak asasi manusia - Studi kasus daerah aliran Sungai Citarum. UNDP. Retrieved from https://www.undp.org/sites/g/files/zskgke326/files/2024-07/air_bersih_dan_agenda_bisnis_dan_hak_asasi_manusia_-_studi_kasus_daerah_aliran_sungai_citarum.pdf
Universitas Diponegoro. (n.d.). Monograph Sungai Brantas. Undip. Retrieved from https://doc-pak.undip.ac.id/id/eprint/16532/1/18%2C%20Monograph%20Sungai%20Brantas.pdf
Wartapala Indonesia. (n.d.). Kerugian 11 triliun akibat pencemaran limbah industri. Wartapala Indonesia. Retrieved from http://wartapalaindonesia.com/kerugian-11-triliun-akibat-pencemaran-limbah-industri/
Yustitia. (2018). Pencegahan pencemaran air Sungai Citarum ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yustitia, 3(2), 185-192.

0Komentar